Sejarah Singkat dan Biografi RA. Lasminingrat :
Raden Ayu Lasminingrat lahir tahun 1843, putri seorang Penghulu Limbangan dan Sastrawan Sunda yang terkenal pada zamannya, yaitu Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Setelah itu lahir pula dua orang adik perempuan yang seibu se-ayah, yaitu Nyi Raden Ratnaningrum dan Nyi Raden Lenggang Kencana. Dalam sebuah buku kajian tentang perjuangan Raden Ayu Lasminingrat karya Prof. Dr. Hj. Nina Lubis, M.S., diutarakan bahwa Raden Haji Muhamad Musa sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Ia menghendaki putri-putrinya yang berjumlah 17 orang dari beberapa isteri itu, bersekolah di sekolah Belanda.
Oleh karena saat itu belum ada sekolah semacam itu di Garut, maka Raden Haji Muhamad Musa mendirikan sekolah Eropa (bijzondere Europeesche School) dengan menggaji dua orang guru Eropa. Di sekolah ini orang Eropa (Belanda) dapat bersekolah bersama-sama dengan anak-anak pribumi, juga anak laki-laki bercampur dengan anak-anak perempuan.
Alhasil, kemampuan Raden Ayu Lasminingrat
dalam berbahasa Belanda sangat fasih, bahkan Karel Frederick Holle,
seorang administrator di Perkebunan Teh Waspada, Cikajang, memujinya.
Pujian itu dinyatakan dalam surat Holle kepada P.J. Veth, antara lain
menyebutkan Bahwa: “Anak perempuan penghulu yang menikah dengan Bupati
Garut, menyadur dengan tepat cerita-cerita dongeng karangan Grimm,
cerita-cerita dari negeri dongeng (Oleg Goeverneur), dan cerita-cerita
lainnya ke dalam bahasa Sunda” (Moriyama, 2005:244).
K.F.
Holle memang sangat dekat dengan anak-anak Raden Haji Muhamad
Musa,termasuk dengan Lasminingrat, bahkan tak segan-segan, Lasmingrat
“nembang” di depan K.F. Holle, yang kadang dipanggil sebagai “Tuan
Kawasa” (lubis, 1998). Peranan K.F. Holle dalam merevitalisasi bahasa
Sunda sangat besar, terbukti dengan menerbitkan buku-buku dalam bahasa
Sunda, memberikan dorongan kepada kaum menak untuk menuliskan
karya-karya mereka dan menerbitkannya. Dalam buku tersebut diceritakan,
Lasmingrat juga terlibat dalam “proyek” menyusun buku-buku pelajaran
Sunda dengan diberi biaya f. 1200 dari Pemerintah Belanda.
Pada
tahun 1875, Raden Ayu berhasil menerjemahkan ke dalam bahasa Sunda,
karya Christoph von Schmidt, Hendrik van Eichenfels, versi Belanda
diterjemahkan dari bahasa Jerman tahun 1883. Judulnya menjadi Tjarita
Erman yang ditulis dalam aksara Jawa, dicetak 6.015 eksemplar. Kemudian
pada tahun 1911 terbit edisi dua, juga dalam aksara Jawa. Dan tahun
1922, terbit edisi ketiga, ditulis dalam aksara Latin.
Selanjutnya,
tahun 1876, Lasminingrat menulis buku Warnasari atawa Rupa-rupa
Dongeng, yang diterjemahkan dari karya Marchen von Grimm dan J.A.A
Goeverneur, Vertelsels uit het Wonderland voor Kinderen, Klein en Groot
(1872), dan beberpa cerita lainnya, ditulis dalam aksara Jawa. Tahun
1903 dan 1907 terbit edisi dua dan tiga. Tahun 1887, menulis Warnasari,
Jilid 2 ditulis dalam aksara Latin, selanjutnya dicetak edisi kedua
tahun 1909.
Bakat Raden Ayu Lasminingrat
dalam mengarang, tak pelak lagi diwarisi dari ayahnya yang juga seorang
sastrawan terkemuka, yang menghidupkan kembali bahasa Sunda di kalangan
menak Sunda, termasuk warisan bakatnya diturunkan kepada Raden
Kartawinata dan Raden Ayu Lenggang Kencana. Dari beberapa karyanya,
Raden Ayu Lasmingrat dalam membuat terjemahan dengan cara menyadur
sehingga cerita asing itu menjadi “membumi”, antara lain nama-nama para
tokoh yang berbau pribumi (misalnya : “Erman”, “Ki Pawitra”) atau
memberi warna Islami. Selain itu, dalam karyanya mencoba menanamkan
rasionalisme dalam dunia pribumi yang masih beralam tradisional yang
diwarnai takhayul. Tidak hanya itu, raden Ayu Lasminingrat juga
mengedepankan soal pengetahuan dasar, baik itu tentang ilmu pengetahuan
alam yang sangat dasar tentang sumber air (mata air, hujan), tentang
cahaya (matahari dan lampu), tumbuh-tumbuhan, termasuk bagaimana
mengajarkan tentang ke-Tuhan-an.
Raden
Ayu Lasmingrat pun adalah pengarang wanita pertama dalam bahasa Sunda,
yang menggunakan kata ganti orang pertama. Ia memakai kata “Koela”
(artinya “saya”). Biasanya pada saat itu para pengarang menggunakan kata
ganti orang ketiga dalam karangan-karangannya. Ini menunjukkan bahwa
Raden Ayu Lasminingrat, meski memiliki hubungan erat dengan orang-orang
Belanda, namun ia bisa menunjukkan integritasnya sebagai seorang pribadi
intelektual, sekaligus kepeloporannya dalam dunia satra.
Peran
Raden Ayu Lasmingrat dibuktikan dengan didirikannya Sakola Kautamaan
Istri tahun 1907, dengan mengambil tempat di ruang gamelan Pendopo
Garut. Kemudian seiring dengan pergantian nama Kabupaten Limbangan
menjadi Kabupaten Garut Tahun 1913. Dua tahun setelah pergantian nama,
R.A.A. Wiaratanudatar VIII pensiun, setelah menjadi bupati sejak tahun
1871. Jabatan Bupati Garut kemudian dipangku oleh R.A.A. Suria
Kartalegawa, yang masih terhitung keponakannya. Akhirnya Raden Ayu
Lasmingrat pindah dari pendopo ke sebuah rumah di Regensweg (sekarang
Jalan Siliwangi). Rumah yang besar ini (sekarang menjadi Yogya
Department Store). Hingga usia 80 tahun ia masih aktif, meskipun tidak
langsung dalam dunia pendidikan.
Pada
masa pendudukan Jepang, Sakola Kautamaan Istri itu diganti namanya
menjadi Sekolah Rakyat (SR) dan mulai menerima laki-laki. Sejak tahun
1950, SR tersebut berubah menjadi SDN Ranggalawe I dan IV yang dikelola
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Daerah Tingkat II Garut. Tahun
1990-an hingga kini berubah lagi menjadi SDN Regol VII dan X.
Haji Hasan Mustapa :
Haji Hasan Mustapa adalah ulama, budayawan dan sastrawan Sunda yang lahir di Cikajang, sebuah Kecamatan di wilayah Garut Selatan, tanggal 3 Juni 1852 M. Pertama kali perjumpaan saya dengan lembaran-lembaran dangding Haji Hasan Mustapa (HHM) adalah waktu bersilaturahim dengan salah seorang wartawan Majalah Mangle, kang Asep Ganjar Purnama, tahun 2004. Semakin saya mencerna—labirin maknanya seperti tak pernah usai melempar diri saya di atas perahu kecil yang tak henti berperang dengan badai. Saya pun menepi, selebihnya sepi, bertahun-tahun sepi. Tapi toh kegelisahan tak serta merta bisa dikuras habis meski dalam waktu yang demikian panjang. Beberapa tahun kemudian akhirnya saya dipertemukan kembali dengan dangding-dangding HHM. Kalbu saya kembali terkurung dalam senandung Puyuh Ngungkung dina Kurung.
Bathin
saya tak henti dihantui dangding Hariring nu Hudang Gering. Pikiran
saya berulangkali tersuruk dalam gugus Dumuk Suluk Tilas Tepus.
Berdesakan pikiran saya dalam Sinom Pamake Nonoman, terhimpit Amis Tiis
Pentil Majapait—pergulatan tak biasa dalam kerumunan “mantra” yang
menyimpan makna nan luar biasa. Ya, pertama kali saya membaca dangding
HHM, saya terpikat oleh pada (bait) dalam Puyuh Ngungkung dina Kurung:
ngalantung méméh ngalantung,ngalinjing méméh ngalinjing,
néangan méméh néangan,
nepi ka méméhna indit,
datang saméméhna iang,
indit saméméh mimiti…
Bait
yang sederhana, tetapi menyimpan makna yang tak mudah dicerna,
setidaknya bagi saya. Tapi sesulit apapun maknanya, entah kenapa, sulit
pula bagi saya untuk melupakan pesonanya yang tak henti menghantui
kesadaran saya. Begitulah, bait diatas adalah salah satu dangding yang
tak henti “menginterogasi” kesadaran saya sampai hari ini. Masih ada
lebih dari 10.000 bait dangding lainnya–seperti laiknya 10.000 lebih
orang yang menertawakan kejumudan hidup saya; bak 10.000 ulama yang
menertawakan kekonyolan cara beragama saya; bagaikan 10.000 filosof yang
menertawakan cara berpikir saya, dan seterusnya dan seterusnya.
Ya,
dalam dangding-dangding HHM, saya seperti mencium aroma “harta karun”
permenungan dan ajaran-ajaran yang sangat berharga, dan kita hari ini
adalah orang-orang yang mempunyai tugas penting untuk menggali kekayaan
makna-maknanya, agar tidak mati tenggelam di kubangan zaman. Kita patut
bersyukur, karya-karyanya masih tetap hidup bersama kita, meski telah
bertahun-tahun yang lalu ia wafat pada hari Senin, 13 Januari 1930 M.
Ayo, kaum muda, sepatutnya juga kita terus menggali, menjaga dan tak
henti mengapresiasi karya-karyanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar